Selasa, 08 April 2008

Dopamin : Menyibak tabir cinta dan perilaku manusia


Bayangkan, anda memasuki ruangan dokter sambil membawa kartu cerdas berisi seluruh informasi genetik tubuh anda yang telah dikode dan diamankan dengan nomor PIN seperti anda membuka ATM. Dengan melihat data-data informasi genetik anda yang unik, dokter dapat menentukan obat yang tepat dalam dosis yang akurat secara efisien sesuai dengan kondisi anda tanpa khawatir akan terjadinya ADR (Adverse Drug Reaction), efek samping maupun ketidaktepatan pemilihan obat. Keadaan tersebut merupakan impian para ilmuwan yang bergerak di bidang farmakogenetik, suatu ilmu yang menghantarkan manusia pada "pengobatan individual/pengobatan butik" berdasarkan pemetaan lengkap seluruh gen yang dimiliki tubuh manusia. Para ilmuwan di bidang biologi molekuler yang tergabung dalam Human Genome Project (HGP) telah mengumumkan hasil sekuensing sekitar 100.000 gen manusia tertanggal 26 juni 2000. Farmakogenomik mencari korelasi yang belum terungkap antara pola-pola genom dengan manifestasi klinis. Sebuah korelasi yang jika terungkap akan dapat memberikan kemudahan bagi para dokter dan ahli farmasi untuk membuat keputusan yang tepat, rasional serta menurunkan angka probabilitas kesalahan pemberian obat, kesalahan dosis, maupun resiko efek samping karena penggunaan metode trial-and-error.

Tak ingin jauh berbeda dari impian para pharmacogenomist, para neuroscientist yang meneliti dopamin -zat kimia otak yang secara alami disintesis terutama dalam jaringan saraf dan kelenjar adrenal- semakin gencar menelusuri mekanisme dan jalur-jalur biokimia yang terkait dengan si penghantar signal antar saraf sekaligus neurohormon itu. Sebagai neurotransmitter, dopamin menghantarkan pesan dari satu sel saraf ke sel saraf yang lain sedangkan sebagai neurohormon, dopamin bekerja menghambat pelepasan prolaktin dari lobus interior pituitary.

Para neurophysiologist, computer scientist, psychologist dan economist yang berkolaborasi dalam studi interdisiplin di jurnal Nature vol. 9, Agustus 2006, mengemukakan hipotesa mengenai sel saraf dopamin otak tengah sebagai pengkode dalam menentukan pengambilan keputusan. Menggunakan monyet macaque (Macaca fasicularis) sebagai binatang percobaan, G. Morris et al. melaporkan analisis hasil penelitian mereka yang menunjukkan bahwa sel saraf dopamin dalam perilaku primata membawa sinyal yang berguna untuk mempelajari kemungkinan reward dan probabilitas pengambilan keputusan atas adanya reward tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa sel saraf dopamin mengkode aksi yang akan dilakukan ketika suatu reward diberikan. Peran utama dopamin sebagai pusat reward reinforcement dan motivasi perilaku adalah daya pikat utama molekul ini sehingga membuat para ilmuwan tertarik untuk bergabung dalam studi interdisiplin untuk mempelajari lebih dalam mengenai jalur-jalur dopamin.

Secara sederhana, reward adalah segala sesuatu dimana makhluk hidup akan berusaha melakukan kerja untuk mendapatkannya. Contohnya: makanan dan seks. Fenomenanya dinamakan brain stimulation reward (BSR). Hal yang menarik dalam eksperimen BSR ialah bahwa reward itu sendiri tidak akan memberikan rasa kepuasan. Penelitian BSR digalakkan untuk menghantarkan pemahaman mengenai bagaimana otak secara keseluruhan mengatur dirinya sendiri untuk membentuk sebuah perilaku. Terkait dengan ini, sel saraf dopamin akan diaktivasi ketika suatu rangsangan reward muncul. Dopamin dipercaya oleh para ilmuwan sebagai zat kimia yang ikut bertanggung jawab menentukan perilaku pengambilan keputusan oleh otak. Ketika suatu rangsangan reward yang sama muncul kembali, ada sebuah keterulangan perilaku untuk merespon. Hal ini menyebabkan penelitian dopamin dianggap sebagai salah satu kunci dalam mengungkapkan proses learning and memory. Dapat anda bayangkan, bahwa sesungguhnya sebuah keinginan, sebuah pemikiran, bahkan sebuah perilaku, dapat ditebak dan dipetakan dengan mempelajari rangkaian molekul-molekul dalam otak.

Menelusuri fungsi dopamin selanjutnya, molekul ini berperan dalam banyak perilaku manusia dalam kehidupan. Mulai dari kecanduan, psikosis, kegelisahan, perubahan mood sampai perilaku abnormal akibat ketidakseimbangan kadar dopamin dalam otak.

Cinta dan Dopamin

Jika anda jatuh cinta, maka rasa `pleasure feelings` yang anda rasakan adalah peran dopamin. Bersama dengan meningkatnya kadar adrenalin yang mempercepat denyut jantung, serta rendahnya kadar serotonin yang menyebabkan rasa obsesif (kepemilikan), dopamin memberikan efek membahagiakan, meningkatan energi, menurunkan nafsu makan, dan mengurangi konsentrasi.

Kolaborasi anthropologist, physiologist dan neuroscientist dalam The Journal of Comparative Neurology vol. 493 Oktober 2005 melaporkan hasil riset mereka menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI) untuk memperhatikan otak 17 orang wanita dan pria saat mereka sedang memperhatikan foto lawan jenis yang disukainya. Data hasil scan menunjukkan bahwa adanya peningkatan aliran darah dalam otak serta adanya peningkatan kadar reseptor dopamin dalam area caudate nucleus dan ventral tegmental area (VTA) sebelah kanan. Menurut Dr. Helen Fisher dari Rutgers University dalam jurnal yang sama mengatakan bahwa apa yang nampak dalam alat scan tersebut adalah suatu keinginan biologis untuk fokus terhadap satu objek. Tingginya kadar dopamin diasosiasikan dengan meningkatnya perhatian, hiperaktivitas, keresahan dan perilaku goal-oriented. Dengan kata lain, seseorang yang berada dalam situasi ini akan terfokus kepada pasangannya dan kurang perhatian terhadap hal yang lainnya.

Dalam jangka waktu tertentu setelah hubungan intens/aktivitas seksual, oksitosin dan vasopressin akan mempengaruhi jalur-jalur dopamin dan adrenalin, sehingga menyebabkan kadar kedua molekul ini menurun. Mekanisme ini dipercaya menyebabkan `pleasure feelings` memudar setelah beberapa lama hubungan intens atau terjadinya aktivitas seksual. Sebuah tim kolaborasi ilmuwan dari Universitas Pisa di Italia menyebutkan bahwa, studi menunjukkan `pleasure feelings` dan `passionate` akan memudar dan hampir-hampir hilang setidak-tidaknya 2 tahun setelah hubungan intens antar pasangan terjadi. Perubahan kadar `kimia cinta` berupa dopamin, adrenalin, norepinephrin, dan phenylethylamin adalah penyebabnya sehingga suatu reward akan lebih ditanggapi secara rasional daripada mengandalkan aktifitas hormonal.

Candu dan Dopamin

Love 'as addictive as cocaine` begitu komentar para neuroscientist yang memang bisa dibuktikan oleh mekanisme molekuler. Diatas telah disebutkan bahwa `pleasure feelings` saat jatuh cinta merupakan ulah dopamin. Begitu pula mekanisme kecanduan yang diberitakan oleh Eric J. Nestler dalam Jurnal Nature Neuroscience oktober 2005. Mekanisme kecanduan terkait erat dengan jalur mesolimbic dopamin yang meliputi dopaminergic sel saraf di VTA serta daerah limbic forebrain, terutama nucleus accumbens (NAc). Jalur VTA-NAc ini adalah jalur terpenting dalam efek akut sistem reward dalam semua jenis adiksi obat. Beberapa jenis obat dan senyawa yang menyebabkan adiksi diantaranya ialah amfetamin, kokain, opiat, alkohol dan nikotin. Senyawa seperti kokain misalnya, dapat menyebabkan beberapa ribu kali peningkatan kadar dopamin dalam otak. Hal ini akan menyebabkan kecanduan dan perasaan ingin mendapatkan `pengalaman rasa` yang sama. Gangguan pada ketersediaan dopamin maupun jumlah reseptor dopamin akan dapat menyebabkan abnormalitas perilaku dan aktifitas gerak.

Beberapa area otak yang terkait dengan jalur VTA-NAc juga essensial dalam mekanisme reward dan perubahan reward secara kronik dalam kaitannya dengan adiksi. Area yang dimaksud adalah amygdala, hippocampus, hipotalamus, dan beberapa wilayah di korteks frontal. Beberapa area ini adalah bagian penting dari sistem penyimpanan memori di otak. Hal ini menghantarkan kepada pemahaman bahwa aspek-aspek penting dalam mekanisme adiksi sangat terkait dengan memori.

Selanjutnya ada suatu indikasi bahwa jalur VTA-NAc dan beberapa wilayah sistem limbik tersebut juga memediasi efek `natural addiction` terhadap `natural rewards` seperti makanan, seks dan interaksi sosial. Dalam jurnal Molecular Psychiatry, Volkow, N. D et al. melaporkan bahwa ditemukannya abnormalitas yang serupa dari hasil scan penampakan otak untuk kecanduan obat dan kecanduan alamiah (natural addiction). Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut untuk mekanisme kecanduan alamiah ini masih perlu dilakukan, mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi dan heterogennya sindrom klinik yang muncul.

Eisch, A.J. dalam Progress in Brain Research melaporkan bahwa setelah pemakaian secara kronik, beberapa obat yang memiliki efek candu berkecenderungan untuk mengurangi neurogenesis (pembentukan sel saraf baru) di otak daerah dentate gyrus hippocampus orang dewasa. Sampai saat ini fungsi neurogenesis hippocampal orang dewasa merupakan subjek yang masih sangat kontroversial. Pembentukan sebuah sel saraf baru dipercaya merupakan hal yang esensial dalam pembentukan sebuah memori baru. Penemuan selanjutnya untuk memperkuat bukti bahwa penggunaan obat-obat tertentu secara kronik dapat mereduksi neurogenesis masih dinantikan. Penemuan tersebut akan berguna untuk menjawab pertanyaan mengenai mekanisme abnormalitas perilaku yang menyimpang dan ingatan yang berkurang dari banyak kasus kecanduan.

Candy dan dopamin

Jika anda menginginkan sebuah permen yang pernah anda rasakan sebelumnya, reward yang ditimbulkan ketika anda ingin merasakan nikmatnya pengalaman mengunyah permen tersebut juga adalah peran dopamin. Ketika manusia lapar dan melihat makanan, sel-sel dopamin akan teraktivasi. Kalau anda memakan makanan yang sangat lezat dan pada waktu yang lain anda melihatnya kembali, sel-sel dopamin anda akan teraktivasi hingga mengumpul dan menjenuh. Riset selanjutnya dalam kaitan antara dopamin dan makanan dilaporkan oleh Volkow.N et al. dari Brookhaven National Laboratory yang membawa kemungkinan baru dalam strategi pengobatan obesitas/ kegemukan. Ditemukan adanya abnormalitas kadar reseptor dopamin dalam otak orang-orang yang kegemukan. Dengan menggunakan PET (Positron Emission Topography) dan senyawa radioaktif, dilakukan pengukuran kadar reseptor dopamin dalam otak 10 orang pasien obesitas dan 10 orang dengan berat normal. Hasilnya menunjukkan kadar reseptor dopamin yang lebih rendah pada pasien obesitas dibandingkan dengan orang normal. Gene-Jack Wang dari laboratorium yang sama mengemukakan bahwa cara memperbaiki kembali fungsi dopamin dimungkinkan sebagai salah satu strategi dalam pengobatan pasien obesitas.

Crazy dan Dopamin

Ingatkah anda pada kegilaan nobelis DR. John Nash dengan tokoh halusinasinya yang di abadikan dalam film `Beautiful mind`? Pada pasien schizophrenia, kadar dopamin meningkat berlebihan, sehingga menyebabkan otak berhalusinasi. Schizophrenia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra). Psikiater asal Scandinavia, Dr. John Carlson, menyebutkan bahwa banyak ilmuwan top dunia dalam sejarah ternyata mengidap Schizophrenia. Riset di laboratorium dengan menggunakan aneka macam tehnik kedokteran nuklir diantaranya pemakaian radioisotop untuk menentukan bagian-bagian pada otak yang berkaitan dengan schizophrenia semakin digalakkan. Riset dipusatkan pada penelusuran mekanisme dan daya kemampuan otak untuk menimbulkan dopamin. Menurut dugaan, abnormalitas pada schizophrenia terjadi dalam bentuk rantai panjang serta komplek yang dimulai dengan perubahan pirosin menjadi dopa, dopa menjadi dopamin, dan dopamin menjadi noradrenalin. Masing-masing mata rantai ini terjalin menggunakan enzim yang spesifik. Ketika adanya gangguan saat proses konversi kritis ini berlangsung, maka memungkinkan terbentuknya ketidakseimbangan kadar dopamine sehingga menimbulkan gangguan perilaku dan mental.

Lain halnya dengan Parkinson, kadar dopamin pada pasien yang menderita penyakit ini menurun berlebihan, sehingga menyebabkan otot motorik kehilangan fungsi normalnya. Gejala yang ditimbulkan akan berupa tremor/dyskinesia (distorsi dalam menjalankan otot volunter). Arvid Carlsson, ilmuwan asal Swedia, adalah orang yang mengarahkan pemahaman mengenai dopamin dan penyakit parkinson. Ia membuktikan bahwa di dalam daerah ganglia basalis otak manusia terdapat kadar yang tinggi dopamin. Sebelumnya, para ilmuwan masih meyakini bahwa dopamin hanyalah suatu prekursor bagi neurotransmitter noradrenalin. Carlsson berhasil mematahkan anggapan ini, karena ia menemukan bahwa dopamin terkonsentrasi di daerah otak yang lain dari tempat noradrenalin, sehingga ia berkesimpulan, dopamin adalah neurotransmitter tersendiri yang terpisah dari noradrenalin. Atas penemuannya ini, ia dianugrahi nobel di bidang kedokteran tahun 2000.

Riset Carlsson mengenai dopamin meningkatkan pemahaman mengenai obat-obat Parkinson dan beberapa obat lain. Ia berhasil menunjukkan obat-obat antipsikotik yang banyak dipakai untuk mengobati pasien skizofrenia, mempengaruhi transmisi sinaptik dengan memblok reseptor-reseptor dopamin. Temuan Carlsson juga memiliki makna penting bagi pengobatan depresi, salah satu penyakit kejiwaan yang paling banyak dialami manusia. Ia berkontribusi bagi pengembangan obat-obat antidepresi generasi baru, yaitu kelompok SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) seperti Prozac (flouxetine) yang sempat terlaris di Amerika (pada awal tahun 1990-an mencapai omzet 1 milyar dollar AS, walaupun kemudian popularitasnya mulai menurun karena diperdebatkan sebagai "kapsul kepribadian", yang membuat pasien yang meminumnya seolah-olah mengalami perubahan kepribadian).

Selain Schizophrenia dan Parkinson, ketidakseimbangan kadar dopamin dalam otak juga diduga mempunyai korelasi dengan penyakit Attention-Deficit/Hyperactivity Disorders (ADHD) dan autisme, dimana keduanya memberikan gejala abnormalitas pada perilaku pasien.

Memoriku Dopaminku

Bagaimana seorang pelukis handal dapat melukis wajah seorang gadis memikat hati yang lama tak ditemuinya atau bagaimana seorang penulis merincikan kembali pemandangan gunung Fuji dengan sentuhan emosi dan cuaca saat itu. Kedua kejadian tersebut berkaitan erat dengan sistem reward dan memori.

Menulis seperti halnya melukis, dimana keduanya menaburkan ingatan-ingatan akan kata maupun bentuk rupa. Ketika anda melukis, anda menggunakan banyak area di otak bagian belakang tempat korteks visual dimana suatu gambar dibentuk. Baik dengan kuas maupun pena, imagi-imagi akan keluar dari lokus-lokus memori.

Suatu memori mengkorelasikan anda tidak hanya kepada bentuk gambar masa lalu, namun juga bentuk emosi masa lalu. Riset-riset untuk mengungkap misteri penyimpanan memori menjadi topik bahasan yang menarik untuk para ilmuwan. Perlombaan mengkorelasikan kimia otak seperti dopamin, noradrenalin, ratusan enzim dan ribuan gen-gen pengkode menjadi tema-tema di laboratorium neuroscience tersebar di berbagai negara.

Pengungkapan tabir mekanisme dopamin bermanfaat untuk strategi penanggulangan penyakit yang disebabkan oleh abnormalitas dopamin. Disamping berperan penting untuk mengenali wilayah abu-abu misteri proses daya ingat, penyimpanan memori, penentuan sebuah keputusan hingga membentuk suatu kebiasaan perilaku.

Andaikata mekanisme jalur-jalur dopamin dalam otak manusia terungkap transparan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti akan ada pasien meminta dokter untuk memberikan resep meningkatkan `pleasure feelings` setelah 3-4 tahun usia pernikahan, dimana kadar `love chemistry` saat itu telah menurun. Di lain sisi, bisa jadi masyarakat membutuhkan parameter tambahan berupa pengukuran kadar dopamin sebagai salah satu syarat kandidat presiden. Para pengusaha mempunyai cara yang lebih mudah untuk meningkatkan kinerja para anak buahnya dalam mengambil keputusan, para psikolog harus berfikir lebih keras untuk menjadi lebih cerdas menanggulangi berbagai masalah baru dalam perilaku manusia, dan para sastrawan akan sibuk merekonstruksi kembali definisi dan makna cinta.

www.beritaiptek.com

Alzheimer's Disease

What is Alzheimer's disease?

Alzheimer's disease is a progressive disorder that slowly kills nerve cells in the brain. First identified in 1907 by the German physician Alois Alzheimer, the illness afflicts some 4 million Americans today. At least one in 20 adults aged 65 and older suffers from the disease; one study found that some 47 percent of those over age 85 have Alzheimer's disease.

Symptoms
At first, people suffering from Alzheimer's disease develop almost imperceptible personality changes and memory loss. They seem more easily tired, upset, or anxious. Their memory loss differs from normal age-related memory problems (see chart A). They can't cope well with change: they can follow familiar routes but traveling to a new place confuses them and they easily become lost. They grope for the words they want in conversation. Often, they try to cover up their memory lapses by denying forgetfulness or by blaming it on events or people.

Later, memory losses worsen, and Alzheimer's patients may repeatedly ask the same questions. They can't make good decisions but may become angry when family members try to help with such accustomed tasks as balancing the checkbook or filling out tax forms. Driving becomes more dangerous, because they can't react quickly or appropriately to traffic dangers, and the freedom to operate a motor vehicle may become a thing of the past. At this stage, people with Alzheimer's disease begin to forget the names of longtime friends. Social life becomes more difficult, and they may become more isolated.

In the early stages of their illness, people with Alzheimer's disease are particularly susceptible to depression. Their condition may also be aggravated by reactions to medications or an unsuitable living environment, and the erosion of their intimate relationships may increase their suffering.

Dementia-a syndrome characterized by deterioration of reasoning, judgment and impulse control as well as changes in memory and personality-becomes more apparent in the next stage. A number of illnesses may cause dementia, but among older people Alzheimer's disease is the most common cause. People afflicted with dementia lose the ability to read words or music. They can no longer identify the date or season. As they lose recent memory, they seem to lose entire blocks of time, forgetting, for instance, who the current president is. Emotional problems may become more severe as the person with Alzheimer's disease tries to make sense of failing reality. They may have long crying spells, become increasingly agitated, anxious, suspicious, and develop paranoid notions about things being stolen or hidden, or about their food being poisoned. Their sleep may be disrupted, and they may wander at night.

In later stages, people with Alzheimer's begin to lose physical coordination and need help with dressing and bathing. More and more often, they can't identify their family and friends, though they may still smile, laugh and enjoy company. Physical impairments can increase until walking is impossible. Eventually, the Alzheimer's patient completely loses touch with reality, and requires constant care.

Reversible Dementias

Anyone who suspects a loved one may be suffering from Alzheimer's disease should not jump to conclusions too quickly. Many other illnesses mimic Alzheimer's disease. Physicians must rule out these treatable conditions before diagnosing Alzheimer's disease. They include:

  • Depression
  • Reactions to medications or to drug interactions with other medicines
  • Chemical imbalances, caused by poor nutrition or illnesses such as pernicious anemia (vitamin B12 deficiency), diabetes, an imbalance of sodium or calcium, or decreased or increased thyroid levels
  • Heart and lung problems that deprive the brain of adequate amounts of nutrition or oxygen
Head injury from falls; exposure to environmental pollutants such as lead, mercury, carbon monoxide, some pesticides and industrial pollutants; chronic alcoholism, or illnesses such as meningitis. Dementias arising from many of these causes may be as irreversible as Alzheimer's disease.

Not all true dementias are caused by Alzheimer's disease. Brain damage caused by impaired circulation-called multi-infarct dementia-causes between 12 and 20 percent of dementia in older people. Other conditions, including multiple sclerosis, Parkinson's disease, Huntington's disease, and Creutzfeldt-Jakob disease, also cause progressive dementia.

Diagnosing Alzheimer's Disease

Research on Alzheimer's disease has established that all people with the disease develop characteristic microscopic changes in the brain, called "plaques" and "neurofibrillary tangles" which develop as brain cells die. The ultimate reason for the premature death of brain cells isn't yet known. However, because plaques or tangles develop deep within the brain, doctors don't normally test for them. As a result, physicians must carefully review a person's symptoms and take a thorough medical history. Psychiatrists and other physicians will only diagnose probable Alzheimer's disease after a thorough medical, psychiatric and neurological evaluation has ruled out other conditions that mimic the disease. At the best established medical centers with Alzheimer's disease specialty programs, clinical diagnosis can be quite accurate-90 percent or better.

Research Looks for Causes

The tangles and plaques of Alzheimer's disease appear inside the nerve cells in large numbers in parts of the brain that regulate thinking, learning, sleep, and memory. When magnified, these tangles look like pairs of filaments that have been twisted around each other. The plaques are made of a protein called amyloid which is surrounded by what appear to be debris from dying cells.

Psychiatric researchers have focused on amyloid in plaques because this protein has been associated with several other diseases such as tuberculosis, Hodgkin's disease and cancer. Some researchers think amyloid regulates growth in nerve cells and could be part of the cells' attempts to defend themselves. Others have found that abnormal proteins associated with amyloid are toxic to nerve cells. They think amyloid may contribute to brain cells' death. Finally, researchers have found amyloid in the skin and intestines of some Alzheimer's disease patients, but not in healthy people, leading some doctors to hope they may some day diagnose Alzheimer's disease by detecting amyloid in other parts of the body.

Other studies also have focused on imbalances in calcium. If Alzheimer's disease changes the calcium regulatory system, it may cause too much calcium to build up in brain cells and, eventually, kill them. Also, the presence of abnormally high concentrations of aluminum in the brain tissues of some with Alzheimer's disease has led some researchers to investigate a possible link. Researchers speculated that aluminum-ingested along with food and drinks stored in aluminum cans-might be causing or aggravating the illness. Research has suggested, however, that if there is any connection, it probably stems from Alzheimer's disease making brain tissues more permeable to aluminum, rather than from aluminum causing the illness.

Still other studies have found imbalances of certain brain chemicals called neurotransmitters. People suffering from Alzheimer's disease have low levels of the neurotransmitter acetylcholine, which are critical to the proper functioning of memory, thoughts and other higher intellectual functions. Alzheimer's patients also have low levels of serotonin, the neurotransmitter that regulates aggression, mood and sleep. Scientists think a serotonin imbalance could contribute to the sleep disturbances, mood changes and aggressive behavior that appear in some Alzheimer's patients.

Finally, researchers have found that some Alzheimer's disease victims have low levels of norepinepherine in their brains. Deficiencies in this neurotransmitter can contribute to anxiety, depression, excessive sleepiness, and difficulty in focusing attention.

Treatments May Be on the Horizon

What do these findings mean? Some have guided studies to develop medicines that alleviate symptoms of Alzheimer's disease by bringing acetylcholine, serotonin or norepinepherine back into balance.

Scientists have seen mixed results in medications' ability to halt the progression of Alzheimer's disease. Some increase the amount of acetylcholine in the brain, but offer only modest improvements in mental alertness and memory. Others keep existing acetylcholine from degenerating, improve visual and verbal memory and help certain types of learning.

More recently, researchers have learned that a chemical known as Alcar (acetyl-l-carnitine) imitates the action of acetylcholine in rats and seems to slow the death rate among nerve cells. While it is too early to tell if this avenue of research will lead to a treatment, Alcar studies are continuing in the U.S. to learn whether it can reduce Alzheimer's symptoms.

Coping: A Team Approach Works Best

Even though scientists don't fully understand how Alzheimer's disease begins and what causes its symptoms, patients and their loved ones can do much to cope with the illness and its effects.

Choosing Your Physician
One of the most important steps is finding a qualified physician. Older people have special health needs, so family members should seek medical care from a physician who understands and has expertise in the health of the elderly. The doctor may be a primary care physician, a neurologist or a psychiatrist who has an interest in geriatrics.

A psychiatrist is often the first choice when Alzheimer's disease begins with its prominent changes in personality, mood, or behavior. As a medical doctor with specialized training in the diagnosis and treatment of mental and emotional illness, a psychiatrist also knows how to identify physical ailments that may require attention from other physicians. A psychiatrist can also identify and treat major depression, an illness that is common among Alzheimer's victims and their families (see Chart B). If unrecognized and untreated, depression can mimic or intensify other problems. A psychiatrist can modify treatment to meet each individual's needs.

In addition, psychiatrists have expertise in prescribing and monitoring psychiatric medications that help manage the behaviors that can develop from Alzheimer's disease. The prescription written by the psychiatrist or other physician is designed to control symptoms without causing unnecessary side effects. Families should make sure they understand why these medications are prescribed and which side effects to watch for and report.

Symptoms of Depression That Can Mimic or Complicate Alzheimer's Disease:

  • Unexplained weakness or fatigue
    • dizzy spells
    • low energy
  • Stomach aches
    • indigestion
    • constipation
    • urinary disturbances
  • Change in eating habits
    • appetite and weight
  • Sleeping disturbances
  • Slowed or more agitated movement
  • Slowed speech
    • softened lowered or monotone voice
    • incomplete responses
  • Feelings of tension
    • anxiety
    • irritability
  • Loss of initiative
    • inability to enjoy activities once enjoyed
  • Indecisiveness
    • apathy
    • boredom
    • indifference
  • Poor attention and concentration
  • Tendency to cry and become upset over minor issues and events
    • low self-esteem
    • feelings of worthlessness
    • hopelessness
    • helplessness
    • inappropriate guilt
  • Thoughts of suicide

Check-List of Alzheimer's Disease Symptoms

  • Loss of short term memory occurs: person can't learn new information
  • Loss of long-term memory occurs: person can't remember personal information such as birthplace or occupation
  • Judgment is impaired
  • Aphasia develops: patient can't recall words or understand the meaning of common words
  • Apraxia develops: patient loses control over muscles and can't, for example, button shirts or operate zippers
  • Patients lose spatial abilities and can't assemble blocks, arrange sticks in a certain order or copy a three-dimensional figure
  • Personality changes: patient may become unusually angry, irritable, quiet, confused
Presence of any or all of these symptoms is not a sure indicator of Alzheimer's disease; only a complete examination by a psychiatrist or other physician can confirm the diagnosis.

Counseling and Support Are Vital
Psychiatric medications should not be the only treatment. Both patients and loved ones may need the help of support groups and counseling.

By taking advantage of group support, education and-if needed-psychotherapy, patients and loved ones can prepare themselves for the disease and its progression. They can learn ways to manage the emotional and behavioral changes that accompany this disease. For example, they can learn to alleviate negative behavior by responding to the underlying causes, such as fear or low self-esteem. They can also identify and cope better with feelings of loss and grief related to permanent changes in a loved one's function and personality.

A person suffering from Alzheimer's disease and his or her family or friends should not feel they must cope with this illness alone. Numerous organizations across the country provide friendship, support, and fellowship. Community resources can help patient and family as they struggle with the emotional and behavioral roller coaster, the medical and social service maze, and the legal and financial intricacies that accompany Alzheimer's disease.

With proper diagnosis and intervention, Alzheimer's disease patients and their loved ones can help prolong the time during which people with Alzheimer's can enjoy productive, fulfilling lives. With a solid understanding of the illness, the patients and their loved ones can cope more effectively with the symptoms and avoid some of the complications that may come with the disease's later stages.


Senin, 07 April 2008

Kabel data ku rusak


Sebel..........

Kabel data aku bener2 rusak........................... Menyebalkan. Padahal itu teh kabel satu2nya..... Udah ma flash disk ilang.......

Lupakan.........



Heechul lucu ya..............n_n

Jumat, 07 Maret 2008

Short RNA Strand Helps exposed Skin Cells Protect Body from Bacteria, Dehydration and even Cancer


Every minute, 30,000 of our outermost skin cells die so that we can live. When they do, new cells migrate from the inner layer of the skin to the surface of it, where they form a tough protective barrier. In a series of elegant experiments in mice, researchers at Rockefeller University have now discovered a tiny RNA molecule that helps create this barrier. The results not only yield new insight into how skin first evolved, but also suggest how healthy cells can turn cancerous.
Hundreds of these tiny RNA molecules, called microRNAs, are expressed in skin, "But there was something curious about one in particular, microRNA-203," says Rui Yi, a postdoc who works with Elaine Fuchs, head of the Laboratory of Mammalian Cell Biology and Development. "As an embryo develops, the expression of microRNA-203 jumps very quickly over just two days. From being barely detectable at day 13, this microRNA becomes the most abundant expressed in skin," says Yi, whose work will be published as an advance online publication in Nature March 2. MicroRNAs, which were discovered in mammals in 2001, regulate genes outside of the cell's nucleus.

Yi and Fuchs, who is also a Howard Hughes Medical Institute investigator and Rebecca C. Lancefield Professor at Rockefeller, found that during the 13th day of development, mouse skin is primarily composed of undifferentiated stem cells. Two days later, these stem cells exit the inner layer of the skin and begin to differentiate into cells that form the outermost, protective layer. MicroRNA-203's expression skyrockets precisely during this period, suggesting that it plays some key role in the barrier's development.

In order to figure out its role, Yi and Fuchs needed to pinpoint exactly where microRNA-203 is expressed. Other microRNAs have been found to be specific to heart and muscle tissues; some exist almost exclusively in the brain. However, this microRNA was found only in very specific types of skin -- stratified epithelial tissues, to be exact -- and only in this skin type's outer layers. What's more, this expression pattern is identical to that found in humans, zebrafish, chickens and the like -- in other words, vertebrates that evolved more than 400 million years apart.

"If it has been expressed in this very specific tissue for a long time and across several species, it means that it probably plays an important role there," says Yi. To find out its function, Yi, in one set of experiments, used a genetic technique to precociously express microRNA in the inner layer of the skin, where stem cells proliferate at a fast clip. In a second set of experiments, he blocked microRNA-203 from functioning in the outer layer using an antagomir, a molecule that binds directly to microRNA-203 and shuts down its ability to carry out its function.

In the first set, he found that the stem cells proliferated significantly less than they did when microRNA-203 wasn't expressed, and, as a result, the mice formed very thin skin -- hardly a protective layer at all. The stem cells, the researchers saw, lost their ability to proliferate not because microRNA-203 killed them off but because it suppressed the activity of a molecule called p63, whose job is to keep cells, primarily stem cells, proliferating. In the second set of experiments, Yi found that the cells in the outer layer proliferated significantly more than they did when microRNA-203 was expressed. The reason: because microRNA-203 wasn't available to shut down p63's busy work.

"We found that microRNA-203 acts to stop the translation of the p63 protein," says Fuchs. "The result is a swift transition from proliferating stem cells within the innermost layer of the epidermis and terminally differentiating cells as they exit this layer and move outward to the skin surface."

The findings have intriguing implications for cancer, since p63 is found in excess in cancer cells. "As a next step, we are going to examine whether low expression of microRNA-203 is associated with squamous cell carcinomas," says Fuchs, "and whether by putting back microRNA-203 we can inhibit the growth of these cancer cells."

How Worms Protect Their Chromosomes : Thereby hangs a surprising tail

A team of scientists at the Salk Institute for Biological Studies has discovered that the roundworm C. elegans constructs the protective tips of its chromosomes — known as telomeres — with a little more panache than do mammals, a finding that could deepen our understanding of the interrelationship of aging and cancer.

In a study reported in March 7 issue of the journal Cell, researchers in the laboratory of Jan Karlseder, Ph.D., Hearst Endowment Associate Professor of the Molecular and Cell Biology Laboratory, showed that unlike mammals, who normally terminate both ends of every chromosome with a string of DNA rich in the base guanine (G), C. elegans can also decorate a telomere with a different motif, a strand abundant in the base cytosine (C).

Karlseder says discovering this deviation from the standard G-tail issued to mammals was completely unanticipated. “Telomeres protect the ends of chromosomes like a glove,” he said. “In mammals telomeres have a single-stranded overhang with a TTAGGG sequence about 150 bases long. We found that in worms there can also be a single-stranded overhang of a C-containing strand.”

Safeguarding the ends of linear chromosomes is essential for any animal’s survival. “Telomere loss can lead to chromosome fusion,” explained Karlseder. “If that happens when a cell divides its chromosomes could randomly break, leading to a condition known as genome instability, a major cause of cancer.”

Telomeres are the object of intense investigation because these structures represent the physical link between cancer and aging research. Normally, telomeres shorten as cells divide, acting as a kind of cellular clock ticking down a cell’s age: when they shorten to a critical point the cell dies. However, in cancer, the clock runs backwards and telomeres aberrantly elongate, turning what could be a cellular fountain of youth into a potential malignancy.

Karlseder and lead author Marcela Raices, Ph.D., discovered the unique C-tails in collaboration with Andrew Dillin, Ph.D., associate professor in the Molecular and Cell Biology Laboratory. The team first found that not only did worm telomere tails come in two flavors but that each was uniquely attached to the chromosome. Double-stranded DNA terminates with mirror-image ends, like right and left hands. In mammals, G-tails extend from the “right hand”— or 5’ end. But worm C-tails hung off the DNA “left hand” or 3’ end.

They then identified two novel worm proteins that bound preferentially to either C- or G-tails. They capped the study by showing that worms lacking either protein exhibited abnormal telomeres, suggesting that each protein — like a somewhat similar protein found in mammalian cells — is part of the machinery regulating the length of C- or G-tailed telomeres.

Using roundworms enabled the experimenters to streamline analysis of these proteins in an animal. “C. elegans is an established model to study aging,” said Karlseder. “We can screen the whole worm genome relatively cheaply in a few months. The same experiment in human cells would take years and probably ten times the money. We want to exploit the C. elegans system and then translate our findings into a human system.”

Raices, a postdoctoral fellow in both the Karlseder and Dillin labs, also praises worms as a model system. “We think that experiments in C. elegans will allow us to study differences in telomere replication and processing, questions that have been extremely challenging to investigate in human cells. Telomere regulation is extremely important in many human cancers.”

An obvious question now emerging from the study is whether C-tails are unique to worms or whether they have been overlooked in mammals. “It is premature to think that C-tails do not exist in human cells,” said Karlseder. “We may find them in mammalian cells under certain circumstances, and if so, they could play a role in telomere maintenance and in cancer.”

In fact, some investigators propose to stop a cell from becoming cancerous by blocking the enzyme that synthesizes telomeres. Karlseder emphasizes that knowing every strategy used by cells to build a telomere is necessary for that approach to work. “Many people in the field think of the overhangs as the most important part of a telomere,” he said. “If we knew how those overhangs were generated and maintained, we could exploit this for cancer therapy.”

Reaktor nuklir: solusi energi masa depan

Energi nuklir saat ini merupakan energi yang sangat berpengaruh dalam produksi listrik berbagai negara di atas bumi ini. Kebutuhan yang mendesak akan devisa dalam bentuk hard currency untuk membiayai pembangunan akan memberikan prioritas tinggi pada pemanfaatan sumber daya fosil, terutama minyak dan gas bumi sebagai komoditi ekspor dan mendukung industri petrokimia, khususnya pupuk yang merupakan komoditi strategis dalam pembangunan pertanian. Apabila untuk memenuhi kebutuhan ini berbagai sumber daya diatas tadi terus dieksplorasi, maka dapat dibayangkan betapa keroposnya mental manusia untuk menggapai masa depan yang cerah. Dalam konteks situasi tersebut diatas dan mengingat pula bahwasanya energi nuklir merupakan energi berskala besar dan penyediaannya dapat digunakan untuk jangka panjang serta pemanfaatannya selalu tertumpu pada perkembangan teknologinya yang terbukti aman, handal. relatif ekonomis, bersih dan berwawasan lingkungan.

reaktor.JPG


Pada periode pertama penggunaan energi nuklir adalah untuk tujuan militer seperti halnya sebuah reaktor pendorong kapal selam (submarine) milik AS, yang dikenal dengan nama Nautilus, dan senjata mematikan seperti bom atom yang pernah dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada akhir perang dunia II. Ketika reaktor Calder Hall, yang merupakan reaktor nuklir pertama di Inggris beroperasi secara komersial pada bulan Oktober 1956, reaktor ini menghasilkan listrik untuk disambungkan ke jaringan listrik, sekaligus menghasilkan energi panas yang dibutuhkan oleh pabrik proses olah ulang bahan bakar di wilayah itu. Setelah lebih dari 40 tahun, empat unit reaktor Calder Hall dengan kapasitas masing-masing 50 MWe masih beroperasi sampai sekarang. Sejak saat itu pengembangan reaktor nuklir lebih diperluas, di mana energi panas yang dihasilkan dalam reaktor langsung dimanfaatkan.

Dulu, dengan alasan harga minyak dan gas yang murah, hanya seharga 7 dolar AS per barrel, tidak ada yang mencari energi nuklir. Tapi dengan meningkatnya harga minyak tiap barrel menjadi 18 dollar AS dan terus meningkat hingga saat ini mencapai 100 dolar AS per barrel, energi nuklir jauh lebih menguntungkan. Saat ini terdapat 45 negara di dunia yang menggunakan energi nuklir dan ada sekitar 420 mesin reaktor listrik di dunia. AS sendiri menghasilkan 210 reaktor atom dan memproduksi sekitar 16 persen dari 367 ribu megawatt listrik dunia. Inggris dan anggota kelompok 8+1 juga memakai listrik bertenaga nuklir. AS dan Inggris menggunakan lebih dari 30 persen listrik dari energi muklir. Dengan demikian, Rusia pun, yang mempunyai 26 persen cadangan energi dunia, lebih dari 30 persen keperluan energinya diperoleh dari energi nuklir. Negara-negara lain secara keseluruhan belum dapat menghasilkan para ahli yang mampu menguasai masalah nuklir untuk produksi reaktor nuklir. Sekarang ini, kebutuhan Iran akan listrik sebanyak 40 ribu megawatt, dan sampai 10 tahun ke depan keperluan itu bisa mencapai ke 80 ribu megawatt.

Dengan generator awal yang bisa menghasilkan energi listrik sebesar 2,5 persen, Iran masih berada di bawah negara-negara maju di Timur. Untuk mendapatkan 1.000 megawatt listrik dari pembakaran energi fosil dalam sehari, 70 juta ton gas dioksida akan mengisi angkasa, yang kemudian menimbulkan masalah-masalah lain seperti polusi. Karena itu, diperlukan energi nuklir. Pilihan akan pemanfaatan energi nuklir berdasar pada sebuah kebutuhan mendesak akan energi dan kebutuhan hidup manusia dari kebutuhan makanan sampai pada kelistrikan tanpa menjadikan bahan nuklir itu menjadi persenjataan yang dapat mematikan umat manusia. Berbagai manfaat yang diambil oleh ketersediaan bahan bakar dialam khususnya energi nuklir memberi manfaat yang begitu luas bagi kehidupan manusia yang sudah barang tentu ada efek lain yang sedang terus diminimalisasi, yaitu efek dari limbah nuklir.

Ditemukan, Gurita Berkaki Enam


Para peneliti kelautan Inggris menemukan apa yang mereka yakini sebagai temuan pertama gurita berkaki enam atau hexapus yang kemudian dinamai Henry.

Hewan laut yang unik karena memiliki lebih sedikit kaki dibanding gurita normal yang berkaki delapan (octopus) itu diyakini merupakan hasil dari cacat kelahiran atau kelainan genetik dan bukan karena kecelakaan.

"Kami meneliti berbagai temuan dan bicara dengan banyak pengelola taman air, dan tak seorangpun pernah mendengar atau menemukan gurita berkaki enam," ujar Carey Duckhouse, supervisor dan perawat hewan di Blackpool Sea Life Centre, Inggris.

Henry ditemukan dalam perangkap lobster di pesisir Wales utara dua minggu lalu. Bersama delapan ekor hewan laut lainnya, ia kemudian dipindahkan ke Sea Life. Waktu itu tidak ada yang menyadari bahwa gurita itu berkaki enam. Baru ketika Henry masuk ke tangki kaca, pegawai Sea Life mengetahui jumlah kaki yang dimiliki gurita itu.

Gurita memang diketahui memiliki tiga jantung dan darah berwarna biru, namun tak pernah ada yang berkaki enam.